Nation and Character Building (2)

13 02 2010

Setiap orang tentu memiliki rasa kebangsaan dan memiliki wawasan kebangsaan dalam perasaan atau pikiran, paling tidak di dalam hati nuraninya. Dalam realitas, rasa kebangsaan itu seperti sesuatu yang dapat dirasakan tetapi sulit dipahami. Namun ada getaran atau resonansi dan pikiran ketika rasa kebangsaan tersentuh. Rasa kebangsaan bisa timbul dan terpendam secara berbeda dari orang per orang dengan naluri kejuangannya masing-masing, tetapi bisa juga timbul dalam kelompok yang berpotensi dasyat luar biasa kekuatannya.

Rasa kebangsanaan adalah kesadaran berbangsa, yakni rasa yang lahir secara alamiah karena adanya kebersamaan sosial yang tumbuh dari kebudayaan, sejarah, dan aspirasi perjuangan masa lampau, serta kebersamaan dalam menghadapi tantangan sejarah masa kini. Dinamisasi rasa kebangsaan ini dalam mencapai cita-cita bangsa berkembang menjadi wawasan kebangsaan, yakni pikiran-pikiran yang bersifat nasional dimana suatu bangsa memiliki cita-cita kehidupan dan tujuan nasional yang jelas. Berdasarkan rasa dan paham kebangsaan itu, timbul semangat kebangsaan  atau semangat patriotisme.

Wawasan kebangsaan mengandung pula tuntutan suatu bangsa untuk mewujudkan jati diri, serta mengembangkan perilaku sebagai bangsa yang meyakini nilai-nilai budayanya, yang lahir dan tumbuh sebagai penjelmaan kepribadiannya.

Rasa kebangsaan bukan monopoli suatu bangsa, tetapi ia merupakan perekat yang mempersatukan dan memberi dasar keberadaan (raison d’entre) bangsa-bangsa di dunia.  Dengan demikian rasa kebangsaan bukanlah sesuatu yang unik yang hanya ada dalam diri bangsa kita karena hal yang sama juga dialami bangsa-bangsa lain.

Bagaimana pun konsep kebangsaan itu dinamis adanya. Dalam kedinamisannya, antar-pandangan kebangsaan dari suatu bangsa dengan bangsa lainnya saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Dengan benturan budaya dan kemudian bermetamorfosa dalam campuran budaya dan sintesanya, maka derajat kebangsaan suatu bangsa menjadi dinamis dan tumbuh kuat dan kemudian terkristalisasi dalam paham kebangsaan.

Paham kebangsaan berkembang dari waktu ke waktu, dan berbeda dalam satu lingkungan masyarakat dengan lingkungan lainnya. Dalam sejarah bangsa-bangsa terlihat betapa banyak paham yang melandaskan diri pada kebangsaan. Ada pendekatan ras atau etnik seperti Nasional-sosialisme (Nazisme) di Jerman, atas dasar agama seperti dipecahnya India dengan Pakistan, atas dasar ras dan agama seperti Israel-Yahudi, dan konsep Melayu-Islam di Malaysia, atas dasar ideologi atau atas dasar geografi atau paham geopolitik, seperti yang dikemukakan Bung Karno pada pidato 1 Juni 1945.

“Seorang anak kecil pun, jikalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau diantara 2 lautan yang besar; Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, dan di antara 2 benua, yaitu Benua Asia dan benua Autralia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Halmahera, kepulaua Sunda Kecil, Maluku, dan lain-lain pulau kecil di antaranya, adalah satu kesatuan.”

Terhadap pernyataan itu, Bung Hatta tidak sepenuhnya sependapat, terutama mengenai pendekatan geopolitik itu : “Teori geopolitik sangat menarik, tetapi kebenarannya sangat terbatas. Kalau diterapkan kepada Indonesia, maka Filipina harus dimasukkan ke daerah Indonesia dan Irian Barat dilepaskan; demikian juga seluruh Kalimantan harus masuk Indonesia. Filipina tidak saja serangkai dengan kepulauan kita.”

Menurut Hatta memang sulit memperoleh kriteria yang tepat apa yang menentukan bangsa. Bangsa bukanlah didasarkan pada kesamaan asal, persamaan bahasa, dan persamaan agama. Menurut Hatta  “bangsa ditentukan oleh sebuah keinsyafan sebagai suatu persekutuan yang tersusun jadi satu, yaitu keinsyafan yang terbit karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan. Keinsyafan yang bertambah besar oleh karena sama seperuntungan, malang yang sama diderita, mujur yang sama didapat, oleh karena jasa bersama, kesengsaraan bersama, pendeknya oleh karena peringatan kepada riwayat bersama yang tertanam dalam hati dan otak.”

Pengertian tentang rasa dan wawasan kebangsaan tersebut di atas sebenarnya merupakan pandangan generik yang menjelaskan bahwa rasa dan wawasan lahir dengan sendirinya di tengah ruang dan waktu seseorang dilahirkan. Tidak salah bila pandangan generik itu mengemukakan pentingnya menumbuhkan semangat kejuangan, rasa kebanggaan atas bumi dan tanah air dimana seseorang dilahirkan dan sebagainya.

Wawasan kebangsaan merupakan jiwa, cita-cita, atau falsafah hidup yang tidak lahir dengan sendirinya. Ia sesungguhnya merupakan hasil konstruksi dari realitas sosial dan politik (sociallyand politicallyconstructed). Pidato Bung Karno atau perhatian Hatta mengenai wawasan kebangsaan adalah bagian penting dari konstruksi elit politik terhadap bangunan citra (image) bangsa Indonesia. Apa pun perbedaan pandangan elit tersebut, persepsi itu telah membentuk kerangka berpikir masyarakat tentang wawasan kebangsaan.

Mengadopsi pemikiran Talcott Parsons  mengenai teori sistem,  wawasan kebangsaan dapat dipandang sebagai suatu falsafah hidup yang berada pada tataran sub-sistem budaya  Dalam tataran ini wawasan kebangsaan dipandang sebagai ‘way of life’ atau merupakan kerangka/peta pengetahuan yang mendorong terwujudnya tingkah laku dan digunakan sebagai acuan bagi seseorang untuk menghadapi dan menginterpretasi lingkungannya. Jelaslah bahwa wawasan kebangsaan tumbuh sesuai pengalaman yang dialami oleh seseorang, dan pengalaman merupakan akumulasi dari proses tataran sistem lainnya, yakni sub-sistem sosial, sub-sistem ekonomi, dan sub-sistem politik.

Pada tataran sub-sistem sosial berlangsung suatu proses interaksi sosial yang menghasilkan kohesi sosial yang kuat, hubungan antar individu, antar kelompok dalam masyarakat yang harmonis. Integrasi dalam sistem sosial yang terjadi akan sangat mewarnai dan mempengaruhi bagaimana sistem budaya (ideologi/ falsafah/pandanngan hidup) dapat bekerja dengan semestinya.

Sub-sistem ekonomi dan sub-sistem politik mempunyai kaitan yang sangat erat. Ada yang mengatakan bahwa paham kebangsaan Indonesia tidak menempatkan bangsa kita di atas bangsa lain, tetapi menghargai harkat dan martabat kemanusiaan serta hak dan kewajiban manusia. Paham kebangsaan berakar pada asas kedaulatan yang berada di tangan rakyat. Oleh karena itu paham kebangsaan sesungguhnya adalah paham demokrasi yang memiliki cita-cita keadilan sosial, bersumber pada rasa keadilan dan menghendaki kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

Namun demikian sangat dipahami bahwa pembangunan ekonomi bukan semata-mata proses ekonomi, tetapi suatu penjelamaan dari proses perubahan politik dan sosial. Oleh karena itu keberhasilan pembangunan di bidang ekonomi tidak dapat lepas dari keberhasilan pembangunan di bidang politik. Pada masa kini kita menyaksikan betapa pembangunan ekonomi hanya dapat terjadi secara bekelanjutan di atas landasan demokrasi.  Betapa bangsa yang menganut sistem politik totaliter, dengan atau tanpa ideologi, atau dilandasi oleh ideologi apapun, tidak bisa mewujudkan kesejahteraan dan tidak sanggup memelihara momentum kemajuan yang telah dicapai. Sejarah membuktikan keikutsertaan rakyat dalam pengambilan keputusan merupakan prasyarat bagi peningkatan kesejahteraan secara berkelanjutan.

Di sisi lain, ada pula yang mengatakan proses demokratisasi tidak akan berlangsung dengan sendirinya tanpa faktor-faktor yang menkondisikannya. Dalam hal ini tingkat kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh akan menentukan kualitas demokrasi. Masyarakat yang belum terpenuhi kebutuhan hidupnya yang paling mendasar akan sulit dibayangkan dapat ikut mempengaruhi secara aktif proses perumusan kebijaksanaan pada tingkat mana pun, faktor ekonomi sangat menentukan. Dengan demikian, tingkat partisipasi politik rakyat sangat erat kaitannya dengan tingkat kemajuan ekonominya. Jalan menuju demokrasi adalah pembangunan ekonomi, seperti juga jalan menuju pembangunan ekonomi adalah demokrasi.

Ekonomi yang kuat yang  antara lain tercermin pada tingkat pendapatan per kapita dan tingkat pertumbuhan yang  tinggi belum menjamin terwujudnya demokrasi yang sehat apabila struktur ekonomi pincang dan sumber-sumber daya hanya terakumulasi pada sebagian sangat kecil anggota masyarakat. Dengan demikian, upaya-upaya pemerataan pembangunan yang sekarang diberikan perhatian khusus harus dipandang pula sebagai langkah strategis dalam rangka pengejawantahan dari wawasan kebangsaan.

Dapat dipahami bila wawasan kebangsaan hanya tumbuh dan dapat diwujudkan dengan energi yang diberikan oleh sub sistem lainnya. Sub-sistem politik akan memberikan energi kepada bekerjanya sub-sistem ekonomi, untuk kemudian memberikan energi bagi sub-sistem sosial dan pada akhirnya kepada sub-sistem budaya. Sebaliknya, apabila sub-sistem budaya telah bekerja dengan baik karena energi yang diberikan oleh sub-sistem lainnya, maka sub-sistem budaya ini akan berfungsi sebagai pengendali (control) atau yang mengatur dan memelihara kestabilan bekerjanya sub-sistem sosial. Begitu seterusnya, sub-sistem sosial akan memberi kontrol terhadap sub-sistem ekonomi, dan sub-sistem ekonomi akan bekerja sebagai pengatur bekerjanya sub-sistem politik.(Otho H. Hadi, MA adalah Staf Direktorat Politik, Komunikasi, dan Informasi Bappenas)





Nation and Character Building (1)

13 02 2010

Banyak kalangan yang melihat perkembangan politik, sosial, ekonomi dan budaya di Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Bahkan, kekuatiran itu menjadi semakin nyata ketika menjelajah pada apa yang dialami oleh setiap warganegara, yakni memudarnya wawasan kebangsaan. Apa yang lebih menyedihkan lagi adalah bilamana kita kehilangan wawasan tentang makna hakekat bangsa dan kebangsaan yang akan mendorong terjadinya dis-orientasi dan perpecahan.

Pandangan di atas sungguh wajar dan tidak mengada-ada. Krisis yang dialami oleh Indonesia ini menjadi sangat multi dimensional yang saling mengait. Krisis ekonomi yang tidak kunjung henti berdampak pada krisis sosial dan politik, yang pada perkembangannya justru menyulitkan upaya pemulihan ekonomi. Konflik horizontal dan vertikal yang terjadi dalam kehidupan sosial merupakan salah satu  akibat dari semua krisis yang terjadi, yang tentu akan melahirkan ancaman dis-integrasi bangsa. Apalagi bila melihat bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang plural seperti beragamnya suku, budaya daerah, agama, dan berbagai aspek politik lainnya, serta kondisi geografis negara kepulauan yang tersebar. Semua ini mengandung potensi konflik (latent sosial conflict) yang dapat merugikan dan mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa.

Dewasa ini, dampak krisis multi-dimensional ini telah memperlihatkan tanda-tanda awal munculnya krisis kepercayaan diri (self-confidence) dan rasa hormat diri (self-esteem) sebagai bangsa. Krisis kepercayaan sebagai bangsa dapat berupa keraguan terhadap kemampuan diri sebagai bangsa untuk mengatasi persoalan-persoalan mendasar yang terus-menerus datang, seolah-olah tidak ada habis-habisnya mendera Indonesia. Aspirasi politik untuk merdeka di berbagai daerah, misalnya, adalah salah satu manifestasi wujud krisis kepercayaan diri sebagai satu bangsa, satu “nation”.

Apabila krisis politik dan krisis ekonomi sudah sampai pada krisis kepercayaan diri, maka eksistensi Indonesia sebagai bangsa (nation) sedang dipertaruhkan. Maka, sekarang ini adalah saat yang tepat untuk melakukan reevaluasi terhadap proses terbentuknya “nation and character building” kita selama ini, karena boleh jadi persoalan-persoalan yang kita hadapi saat ini berawal dari kesalahan dalam menghayati dan menerapkan konsep awal “kebangsaan” yang menjadi fondasi ke-Indonesia-an. Kesalahan inilah yang dapat menjerumuskan Indonesia, seperti yang ditakutkan Sukarno, “menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa.” Bahkan, mungkin yang lebih buruk lagi dari kekuatiran Sukarno, “menjadi bangsa pengemis dan pengemis di antara bangsa-bangsa”.

Di samping itu,  timbul pertanyaan mengapa akhir-akhir ini wawasan kebangsaan menjadi banyak dipersoalkan. Apabila kita coba mendalaminya, menangkap berbagai ungkapan masyarakat, terutama dari kalangan cendekiawan dan pemuka masyarakat, memang mungkin ada hal yang menjadi keprihatinan. Pertama, ada kesan seakan-akan semangat kebangsaan telah menjadi dangkal atau tererosi terutama di kalangan generasi muda–seringkali disebut bahwa sifat materialistik mengubah idealisme yang merupakan jiwa kebangsaan. Kedua, ada kekuatiran ancaman disintegrasi kebangsaan, dengan melihat gejala yang terjadi di berbagai negara, terutama yang amat mencekam adalah perpecahan di Yugoslavia, di bekas Uni Soviet, dan juga di negara-negara lainnya seperti di Afrika, dimana paham kebangsaan merosot menjadi paham kesukuan atau keagamaan. Ketiga, ada keprihatinan tentang adanya upaya untuk melarutkan pandangan hidup bangsa ke dalam pola pikir yang asing untuk bangsa ini.

Para founding fathers memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dengan tujuan umum adalah mengubah sistem feodalistik dan sistem kolonialis menjadi sistem modern dan sistem demokrasi.  Kemerdekaan menurut Sukarno adalah “jembatan emas” menuju cita-cita demokrasi, sedangkan pembentukan “nation and character building” dilakukan di dalam prosesnya. Kalau pada suatu saat Sukarno menyatakan bahwa, “revolusi belum selesai,” maka dalam konteks “nation and character building,” pernyataan demikian dapat dimengerti. Artinya, baik “nation” maupun “character” yang dikehendaki sebagai bangsa merdeka belum mencapai standar yang dibutuhkan. Maka dalam hubungan “nation and character building” seperti yang diuraikan di atas, beberapa hal  berikut terkandung di dalam gagasan awalnya:

  • Pertama, Kemandirian (self-reliance), atau menurut istilah Presiden Soekarno adalah “Berdikari” (berdiri di atas kaki sendiri). Dalam konteks aktual saat ini, kemandirian diharapkan terwujud dalam percaya akan kemampuan manusia dan penyelenggaraan Republik Indonesia dalam mengatasi krisis-krisis yang dihadapinya.
  • Kedua, Demokrasi (democracy), atau kedaulatan rakyat sebagai ganti sistem kolonialis. Masyarakat demokratis yang ingin dicapai adalah sebagai  pengganti dari masyarakat warisan yang feodalistik. Masyarakat di mana setiap anggota ikut serta dalam proses politik dan pengambilan keputusan yang berkaitan langsung dengan kepentingannya untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran.
  • Ketiga, Persatuan Nasional (national unity). Dalam konteks aktual dewasa ini diwujudkan dengan kebutuhan untuk melakukan rekonsiliasi nasional antar berbagai kelompok yang pernah bertikai ataupun terhadap kelompok yang telah mengalami diskriminasi selama ini.
  • Keempat, Martabat Internasional (bargaining positions).  Indonesia tidak perlu mengorbankan martabat dan kedaulatannya sebagai bangsa yang merdeka untuk mendapatkan prestise, pengakuan dan wibawa di dunia internasional. Sikap menentang hegemoni suatu bangsa atas bangsa lainnya adalah sikap yang mendasariide dasar “nation and character building.” Bung Karno menentang segala bentuk “penghisapan suatu bangsa terhadap bangsa lain,” serta menentang segala bentuk “neokolonialisme” dan “neoimperialisme.” Indonesia harus berani mengatakan “tidak” terhadap tekanan-tekanan politik yang tidak sesuai dengan “kepentingan nasional” dan “rasa keadilan” sebagai bangsa merdeka.




More Than Words – Westlife

13 02 2010

Saying I Love You


Is Not The Words
I Want To Hear From You
It’s Not That I Want You
Not To Say
But If You Only Knew
How Easy
It Would Be To
Show Me How You Feel
More Than Words
Is All You Have To Do
To Make It Real
Then You Wouldn’t
Have To Say
That You Love Me
Cos I’d Already Know

What Would You Do
If My Heart Was Torn In Two
More Than Words To Show You Feel
That Your Love For Me Is Real
What Would You Say
If I Took Those Words Away
Then You Couldn’t Make Things New
Just By Saying I Love You

It S More Than Words
It S More Than What You Say
It S The Things You Do
Oh Yeah
It S More Than Words
It S More Than What You Say
It S The Things You Do
Oh Yeah

Now That I’ve Tried To
Talk To You
And Make You Understand
All You Have To Do
Is Close Your Eyes
And Just Reach Out Your Hands

And Touch Me
Hold Me Close
Don’t Ever Let Me Go
More Than Words
Is All I Ever
Needed You To Show
Then You Wouldn’t Have To Say
That You Love Me
Cos I’d Already Know

What Would You Do
If My Heart Was Torn In Two
More Than Words To Show You Feel
That Your Love For Me Is Real
What Would You Say If I Took Those Words Away
Then You Couldn’t Make Things New
Just By Saying I Love You

More Than Words





What About Now – Westlife

13 02 2010

Shadows fill an empty heart
As love is fading
From all the things that we are
But are not saying
Can we see beyond the scars
And make it to the dawn?

Change the colours of the sky
And open up to
The ways you made me feel alive
The ways I loved you
For all the things that never died
To make it through the night
Love will find you

[Chorus]
What about now?
What about today?
What if your making me all I was meant to be?
What if our love never went away?
What if it’s lost behind words we could never find?

Baby before it’s too late
What about now?

The sun is breaking in your eyes
To start a new day
This broken heart can still survive
With a touch of your grace
Shadows fade into the light
I am by your side
Where love will find you

[Chorus]

Baby before it’s too late
What about now?

Now that we’re here
Now that we’ve come this far
Just hold on
There is nothing to fear
For I am right beside you
For all my life I am yours

[Chorus X2]

Baby before it’s too late
Baby before it’s too late
Baby before it’s too late

What about now?





Ekstraksi Aluminium

13 02 2010
  • Aluminium diperoleh dari mineral bauksit
  • Pemurnian bijih bauksit dari aluminium oksida dilakukan secara kontinyu. Cryolite ditambahkan dalam titik leleh yang lebih rendah dan melarutkan bijih.
  • Ion-ion harus bebas bergerak menuju elektroda yang disebut katoda (elektroda negatif) yang menarik ion positif, misalnya Al3+ dan anoda (elektroda positif) yang menarik ion negatif, misalnya O2
  • Ketika arus DC dilewatkan melalui plat aluminium pada katoda (logam) maka aluminium akan diendapkan di bagian bawah tangki.
  • Pada anoda, gas oksigen terbentuk (non-logam). Ini menimbulkan masalah. Pada suhu yang tinggi dalam sel elektrolit, gas oksigen akan membakar dan mengoksidasi elektroda karbon menjadi gas beracun karbon monoksida atau karbon dioksida. Sehingga elektrode harus diganti secara teratur dan gas buang dihilangkan.
  • Hal tersebut merupakan proses yang memerlukan biaya relatif banyak (6x lebih banyak dari pada Fe) karena dalam proses ini membutuhkan energi listrik yang mahal dalam jumlah yang banyak.

Dua aturan yang umum :

  • Logam dan hidrogen (dari ion positif), terbentuk pada elektroda negatif (katoda).
  • Non-logam (dari ion negatif), terbentuk pada elektroda positif (anoda).
  • Bijih bauksit dari aluminium oksida tidak murni (Al2O3 terbentuk dari ion Al3+ dan ion O2).
  • Karbon (grafit) digunakan sebagai elektroda.
  • Cryolite menurunkan titik leleh bijih dan menyimpan energi, karena ion-ion harus bergerak bebas untuk membawa arus.
  • Elektrolisis adalah penggunaan energi listrik DC yang megakibatkan adanya perubahan kimia, misalnya dekomposisi senyawa untuk membentuk endapan logam atau membebaskan gas. Adanya energi listrik menyebabkan suatu senyawa akan terbelah.
  • Sebuah elektrolit menghubungkan antara anoda dan katoda. Sebuah elektrolit adalah lelehan atau larutan penghubung dari ion-ion yang bergerak bebas yang membawa muatan dari sumber arus listrik.

Proses reaksi redoks yang terjadi pada elektroda :

  • Pada elektroda negatif (katoda), terjadi proses reduksi (penagkapan elektron) dimana ion aluminiun yang bermuatan positif menarik elektron. Ion aluminuim tersebut menangkap tiga elektron untuk mengubah ion aluminuim menjadi atom.
  • aluminium dalam keadaan netral. Al3+ 3e → Al
  • Pada elektroda positif (anoda), terjadi proses oksidasi (pelepasan elektron) dimana ion oksida negatif melepaskannya. Ion oksida tersebut melepaskan dua elektron dan membentuk molekul oksigen yang netral.

2O2 → O2 + 4e

Atau

2O2 – 4e → O2

  • Catatan : reaksi oksidasi maupun reduksi terjadi secara bersama-sama.
    • Reaksi dekomposisi secara keseluruhan adalah :

Aluminium oksida  →  aluminium + oksigen

2 Al2O3 → 4Al + 3O2

Dan reaksi diatas merupakan reaksi yang sangat endotermis, banyak energi listrik yang masuk.(www.chem-is-try.org)





Kekuasaan Kehakiman yang Bertanggung-jawab

13 02 2010

Bila badan-badan pemerintahan lain bertanggung jawab pada rakyat, maka peradilan – dan hanya peradilan saja – bertanggung- jawab pada nilai-nilai moral tertinggi dan pada “judicial rectitude” (Pope, 2003: 63). Konsep kemerdekaan dan akuntabilitas yudisial bersifat saling menguatkan satu sama lain. Kemerdekaan yudisial berkenaan  dengan  institusi  –  kemerdekaan  kehakiman  tidak dirancang untuk menguntungkan hakim secara individual ataupun peradilan sebagai suatu badan. Kemerdekaan yudisial dirancang untuk melindungi rakyat. Sementara akuntabilitas yudisial tidak dapat  bekerja  dalam  keadaan  vakum.  Hakim  harus  bekerja  di dalam aturan-aturan dan berdasarkan sumpah jabatannya.

Secara umum akuntabilitas yudisial berkaitan dengan konsep kepemerintahan      yang     baik     ( good    governance).      Bintoro Tjokroamidjojo menerjemahkan akuntabilitas sebagai “tanggung- gugat dari pengurusan/penyelenggaraan”   (2003: 130). Sementara itu Lembaga Administrasi Negara (LAN) mengartikan akuntabilitas sebagai  :  “Kewajiban  untuk  memberikan  pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan seseorang/ pimpinan suatu unit organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau     yang       berwenang     meminta      pertanggungjawaban” (Tjokroamidjojo, 2003: 130).

Akuntabilitas berbeda dengan responsibilitas (responsibility). Responsibilitas  sepenuhnya  tergantung  dari  yang  bertanggung- jawab atas penyelenggaraan suatu tugas atau kewenangan. Ia bisa melakukan  tanggung  jawabnya  secara  benar,  tetapi  dapat  pula terjadi penyimpangan yang dilakukan dengan mengatasnamakan tanggung  jawabnya.  Sementara  akuntabilitas,  pelaksanaan tanggung jawabnya itu merupakan tanggung gugat, bisa diminta pihak  yang  berhak  meminta  pertanggungjawabannya  dan  dapat digugat (Tjokroamidjojo, 2003: 130-131).

Stefan Voigt (2005: 5) menyebutkan akuntabilitas yudisial menyangkut  dua  aspek,  yakni  aspek  prosedural yang  berkenaan dengan  perilaku  hakim,  dan  aspek  substansial yang  berkenaan dengan putusan hakim. Berkenaan dengan aspek perilaku,  dapat dibedakan  antara  perilaku  dalam  jabatan  (mis.  penyuapan)  dan perilaku  di  luar  jabatan  (mis.  pemukulan  terhadap  istri/suami). Dalam hal putusan hakim, hakim harus memutuskan berdasarkan hukum dan bukti yang dihadirkan di depan pengadilan. Selain itu, proses persidangan harus dilakukan dalam suatu pengadilan yang terbuka  (open  court),  di  bawah  pengawasan  publik  dan  pers. Demikian  pula  pertimbangan  di  dalam  putusan  pengadilan  dan perilaku  dalam  persidangan  harus  terbuka  pada  kritisisme  dari pengadilan  yang  lebih  tinggi,  para  ahli  hukum,  lingkungan akademik, serta publik dan pers.

Dalam  pengertian  itu,  akuntabilitas  tidak  dapat  ditegakkan tanpa  adanya  transparansi,  pratisipasi,  responsitas,  dan  pre – diktabilitas  hukum  (rule  of  law).  Dengan  demikian,  kendatipun secara  kelembagaan  bersifat  merdeka,  tetapi  kemerdekaan  atau kebebasan yang dimiliki oleh kekuasaan kehakiman tidak bersifat mutlak  melainkan  harus  dapat  dipertanggungjawabkan  kepada publik  atau  rakyat  serta  kepada  hukum  dan  keadilan  –  sesuai dengan asas kedaulatan rakyat dan negara hukum.  Dalam kaitan itu, bila kemerdekaan yudisial adalah alat untuk mencapai tujuan, maka akuntabilitas yudisial adalah yang menjadi tujuan itu sendiri. Akuntabilitas  dari  semua  kekuasaan  pemerintahan,  termasuk kekuasaan  kehakiman,  pada  hakikatnya  adalah  kepada  rakyat sebagai tujuan dari pemerintahan demokratis





Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka

13 02 2010

Alexander  Hamilton  dalam  The  Federalist menjelaskan independensi yudisial ini dengan mengilustrasikan perbandingan antara kekuasaan yang dimiliki oleh tiga cabang kekuasaan :  in a government in which they are separated from each other, the judi- ciary, from the nature of its functions, will always be the least dangerousto the  political  rights  of  the  Constitution;  because  it  will  be  least  in  a capacity to annoy or injure them. The Executive not only dispenses the honors, but holds the sword of the community. The legislature not only commands  the  purse,  but  prescribes  the  rules  by  which  the  duties  and rights  of  every  citizen  are  to  be  regulated.  The  judiciary,  on  the  con- trary, has no influence over either the sword or the purse; no direction either  of  the  strength  or  of  the  wealth  of  the  society;  and  can  take  no active resolution whatever. It may truly be said to have neither FORCE nor WILL, but merely judgment; and must ultimately depend upon the aid of the executive arm even for the efficacy of its judgments (The Fed- eralist # 78).

Jadi,  menurut  Hamilton  independensi  yudisial  diperlukan karena  di  antara  ketiga  cabang  kekuasaan,  lembaga  peradilan adalah “the least dangerous to the political rights of the Constitution”.

Lembaga  peradilan  tidak  memiliki  pengaruh  baik  kekuasaan (sword) maupun keuangan (purse) bila dibandingkan dengan ke- kuasaan  eksekutif  dan  legislatif.  Kekuasaan  kehakiman  hanya memiliki kekuatan dalam bentuk ‘putusan’ semata (judgment).

Lubet  menyebutkan,  bahwa  independensi  yudisial  me – ngandung  nilai-nilai  dasar:  fairness,  impartiality,  dan  good  faith. Hakim yang independen akan memberikan kesempatan yang sama dan terbuka kepada setiap pihak untuk didengar tanpa mengaitkannya  dengan  identitas  atau  kedudukan  sosial  pihak-pihak tersebut. Seorang hakim yang independen akan bersikap imparsial, bebas dari pengaruh yang tak berhubungan dan kebal dari tekanan pihak luar. Seorang hakim yang independen memutus berdasarkan kejujuran  (good  faith),  berdasarkan  hukum  sebagaimana  yang diketahuinya, tanpa menghiraukan akibat yang bersifat personal, politis ataupun finansial (Lubet, 1998: 61).

John  Ferejohn  (1998)  menyebutkan,  bahwa  secara  prinsip tujuan dari kemerdekaan yudisial adalah untuk memfasilitasi tiga nilai tertentu. Pertama, kemerdekaan yudisial merupakan kondisi yang diperlukan untuk memelihara negara hukum. Kedua, dalam suatu  pemerintahan  konstitusional,  hanya  hukum  yang  secara konstitusional memiliki legitimasi yang harus ditegakkan dan pe- ngadilan harus memiliki kemampuan untuk melakukan tugas dalam memutuskan hukum tersebut. Karena itu, terdapat kebutuhan agar pengadilan  memiliki  kemerdekaan  untuk  membatalkan  aturan hukum yang melanggar nilai-nilai tersebut. Ketiga, dalam negara demokrasi, pengadilan harus memiliki otonomi yang kuat dalam menolak godaan untuk memberikan penghormatan terlalu banyak pada pemegang kekuasaan ekonomi atau politik.

The Universal Declaration of Human Rights 1948 menyebutkan: “Everyone is entitled in full equality to a fair, and public hearing by an  independent  and  impartial  tribunal”  (Art.  10).  Demikian  pula dalam  The  International  Covenant  on  Civil  and  Political  Rights (ICCPR), 1966 disebutkan, bahwa: “everyone shall be entitled to a fair and public hearing by a competent, independent and impartial tribunal established by law” (art. 14 (1)).

Sementara  itu,  dalam  Basic  Principle  on  the  Independence  of the Judiciary yang dihasilkan dalam Seventh United Nations Con- gress  on  the  Prevention  and  the  Treatment  of  Offenders  1985 disebutkan, bahwa :   1)   The judiciary shall decide matters before them impartially, on the basis of facts and in accordance with the law, without any restrictions, improper influences, inducements, pressures, threats or interferences, direct or indirect, from any quarter or for any reason;  2) The judiciary shall have jurisdiction over all issues of a judicial nature and shall have exclusive authority to decide whether an issue submitted for its decision is within its competence as defined by law;  3) There shall not be any inappropriate or unwarranted inter- ference with the judicial process, nor shall judicial decisions by the courts be subject to revision. This principle is without prejudice to judicial review or to mitigation or commutation by competent authori- ties of sentences imposed by the judiciary, in accordance with the law. (Basic Principle, article 2-4)

Ketentuan  dalam  Basic  Principle tersebut  menyebutkan  beberapa  wilayah  independensi  yudisial,  termasuk  unsur-unsur utama pengambilan putusan hakim atau pengadilan, imparsialitas, kebebasan  dari  pengaruh  luar.  Hanya  dengan  keberadaan  suatu kemerdekaan  pengadilan,  hakim  dapat  memutus  perkara  secara imparsial dan berkeadilan, sebab “negara hukum” mensyaratkan adanya  hakim  yang  tidak  takut  atau  khawatir  atas  akibat  atau pembalasan dari pihak luar (Kelly, 2005: 4).

Sementara itu di dalam The International Bar Association Code of Minimum Standrads of Judicial Independence, 1987 menyebutkan batasan-batasan  dari  kemerdekaan  yudisial  yang  meliputi kemerdekaan personal, kemerdekaan substantif, kemerdekaan in- ternal, dan kemerdekaan kolektif. Kemerdekaan personal mensyarat- kan  bahwa  pengisian  jabatan  hakim,  termasuk   pengangkatan, pemindahan, pemensiunan, dan penggajian tidak ditetapkan oleh dan di bawah keputusan eksekutif. Kemerdekaan substantif men- syaratkan seorang hakim harus memberi putusan sendiri atas dasar penalaran atau argumentasi hukum sendiri, bukan atas dasar pe- nalaran orang lain. Kemerdekaan internal berarti seorang hakim harus  mampu  mengambil  putusan  tanpa  campur  tangan  kolega atau atasannya. Kemerdekaan kolektif mengacu pada fakta bahwa suatu  pengadilan  adalah  suatu  badan  atau  lembaga  yang  tidak bergantung  pada  kekuasaan  pemerintahan  yang  lain  (Lubis  & Santosa, 2000:  171).

Harold See (1998: 141-142) menyebutkan adanya dua perspektif dalam  memandang  independensi  yudisial.  Pertama,  perspektif pemisahan  kekuasaan  dalam  bentuk  kemerdekaan  kelembagaan (institutional independence) kekuasaan kehakiman dari cabang pe- merintahan  lainnya.  Aspeknya  termasuk  organisatoris,  adminis- trasi, personalia, dan finansial.  Kedua, perspektif demokrasi berupa kemerdekaan dalam membuat putusan (decisional independence). Hal  ini  berkaitan  dengan  kewajiban  khusus  dari  pengadilan terhadap negara hukum. Peradilan bukan hanya salah satu cabang pemerintahan dalam kekuasaan kehakiman, tetapi melaksanakan fungsi untuk menjamin terwujudnya negara hukum. Di dalamnya terdapat perlindungan atas kemerdekaan hakim dalam memutus dari pengaruh berbagai kepentingan

Hal yang sama dikemukakan oleh John Ferejohn (1988) yang menyebutkan,  bahwa  konsepsi  tradisional  menekankan  kemer- dekaan yudisial sebagai kemerdekaan dari campur tangan pejabat pemerintahan. Selain itu terdapat konsepsi yang lebih luas yang memandang  kemerdekaan  yudisial  dari  kepentingan  sosial  dan ekonomi yang sangat kuat. Namun demikian, kemerdekaan yudi- sial  bukanlah  tujuan  itu  sendiri,  melainkan  alat  untuk  mencapai suatu tujuan. Tujuan dari  kemerdekaan yudisial adalah terwujudnya  negara  hukum  dan  melindungi  kebebasan  dan  hak  asasi. Manakala hakim berbicara kemerdekaan yudisial sebagai tujuan itu  sendiri,  maka  akan  mengakibatkan  publik  dan  cabang  ke- kuasaan yang lain berpikir bahwa peradilan sebagai superior ter- hadap cabang kekuasaan lainnya.  Oleh karena itu, kemerdekaan yudisial tidak berarti kemerdekaan mutlak. Peradilan tidak bebas dari  semua  pengaruh;  ia  hanya  bebas  dari  pengaruh  yang  tak semestinya. Misalnya, kekuasaan kehakiman tidak bebas dari kritik, tetapi ia bebas dari kritik yang tidak jujur, intimidasi, atau pem- balasan.

Dalam  kaitan  itu,  kemerdekaan  yudisial  tidak  berada  dalam ruang vakum. Kemerdekaan yudisial tidak berarti isolasi yudisial atau pemisahan yudisial. Kemerdekaan tetap berada dalam suatu hubungan interdependensi dengan cabang kekuasaan lainnya. Hal ini seperti dikatakan oleh salah seorang Hakim Agung AS :  “While the Constitution diffuses power the better to secure liberty, it also con- templates that practice will integrate the dispersed powers into a work- able government. It enjoins upon its branches separateness but inter- independence, autonomy but reciprocity.” (Warren, 2005)





GAYA KERJA DAN NEGOSIASI (4)

13 02 2010

Perbandingan Antara Ciri-ciri Gaya Kerja

Nilai dan Asumsi

KOMANDAN :  “Orang pada umumnya hanya memikirkan kepentingan pri-badi dan kita harus berjuang – kalau perlu dengan kekeras-an untuk memenangkan kepentingan kita”

PELAYAN       :  “Hubungan baik akan banyak sekali membantu dalam men-jalankan pekerjaan yang melibatkan orang lain kita harus berusaha menjaga perasaan orang lain”

SENIMAN       :  “Tanpa saya dunia akan berputar. Tidak ada gunanya saya repot-repot memikirkan kepentingan orang lain, mereka tokh juga tidak memikirkan kepentingan saya”.

BIROKRAT     :  “Peraturan akan mengamankan segala-galanya, yang pen-ting ikuti peraturan yang ada. Pada dasarnya orang mau me-ngikuti peraturan kalau kita pun berpegangan pada pera-turan itu”.

MANAJER       :  “Usulan orang lain belum tentu bertujuan merugikan saya, karena itu ada baiknya memperhatikan usulan orang lain. Yang penting, kita berusaha mencapai yang terbaik untuk semua pihak”.
Dalam Mempelajari Tawaran Pihak Lain
KOMANDAN :  Sangat cepat menarik kesimpulan terhadap usulan yang dia-jukan pihak lain, dan jarang memikirkan kemungkinan-ke-mungkinan penafsiran lain (dari penafsiran yang pertama). Umumnya bersifat curiga bahwa usulan yang diajukan pihak lain, hanya untuk kepentingan pihak lain.
PELAYAN       :  Yang diperhatikan adalah sejauh mana tawaran itu beraki-bat pada hubungan interpersonal di antara para anggota de-legasi. Yang diperhatikan adalah kepentingan masing-ma-sing pribadi, bukan kepentingan kelompok yang diwakili oleh masing-masing pribadi, bukan kepentingan kelompok yang diwakili oleh masing-masing pihak.
SENIMAN       :  Yang dipelajari hanyalah dampak penawaran itu terhadap kepentingan pribadinya, bukan dampak terhadap kepenting-an kelompok yang ia wakili.
BIROKRAT     :  Yang dipelajari adalah sejauh mana tawaran itu sesuai de-ngan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Dalam hal ini ia ti-dak mempersoalkan kepentingan pribadi maupun kepenting-an kelompok yang ia wakili.
MANAJER       :  Sangat berhati-hati dalam menafsirkan suatu tawaran selalu berusaha memperoleh kejelasan mengenai arti/penafsiran yang mungkin diberikan terhadap rumusan penawaran terse-but baik bagi kepentingan kelompok yang diwakilinya mau-pun kelompok yang diwakilinya pihak lawan.

Dalam Mengajukan Penawaran
KOMANDAN :  Mengajukan penawaran yang terutama menguntungkan pi-haknya dan dirinya sendiri secara pribadi. Merasa bahwa yang diajukan adalah penawaran yang terbaik yang seharus-nya diterima oleh pihak lain. Sulit untuk menerima bahwa tawaran yang diajukan memiliki kelemahan.

PELAYAN       :  Jarang mengajukan “penawaran tandingan”, umumnya lebih sering beraksi secara pasif terhadap tawaran yang diajukan pihak lain. Kalaupun mengajukan penawaran berusaha agar pihak lain tidak tersinggung dengan tawaran yang diajukan. Lebih mendukung tawaran yang diajukan oleh pihak orang lain, baik orang yang menjadi anggota delegasi, maupun orang yang bukan anggota delegasinya.
SENIMAN       :  Secara tegas mengatakan apa yang ia inginkan, pada umum-nya tawaran yang ia ajukan berorentasi pada kepentingan pribadinya.
BIROKRAT     :  Mengajukan tawaran yang menurut anggapannya sesuai de-ngan norma atau peraturan yang berlaku.
MANAJER       :  Mengajukan penawaran yang dianggapnya merupakan alter-natif terbaik bagi kepentingan semua pihak. Diajukan belum tentu merupakan alternatif yang terbaik, dan karena itu meli-hat forum negosiasi sebagai forum bertukar pikiran untuk menentukan alternatif yang terbaik.

Dalam Mengomentari Tawaran
KOMANDAN :  Sangat cepat memberikan persetujuan atau penolakan terha-dap penawaran yang diajukan, dan umumnya menyertakan argumen bagi penolakan atau penerimaan tidak segan untuk mencela kelemahan tawaran pihak lain.
PELAYAN       :  Sangat berhati-hati dalam mencela tawaran pihak lain. Ko-mentar yang diberikan sering kali tidak “genuine”. Tidak be-nar-benar sesuai dengan pendapat pribadinya. Lebih mudah untuk mengemukakan butir-butir yang diterimanya dari pada mengemukakan keberatan-keberatannya.
SENIMAN       :  Tidak banyak memberikan komentar. Lebih suka untuk se-cara tegas mengatakan setuju atau tidak setuju. Persetujuan diberikan bukan atas dasar “baik” atau “buruknya” tawaran itu, tetapi berdasarkan mengganggu tidaknya tawaran itu ter-hadap kepentingan pribadinya.
BIROKRAT     :  Berusaha untuk menunjukkan penyimpangan (kalau ada) da-ri norma-norma yang umumnya berlaku.
MANAJER       :  Berusaha untuk memberikan komentar yang obyektif terha-dap tawaran yang diajukan, mengatakan secara terus terang bagian mana yang disetujui dan bagian mana yang tidak di-setujui, serta memberikan argumen-argumen.

Dalam Mengendalikan Konflik
KOMANDAN :  Berusaha menenangkan konflik dengan wewenang atau ke-kuasaan yang dimiliki. Tidak merasa terganggu oleh kete-gangan emosional yang timbul selama berlangsungnya kon-flik.
PELAYAN       :  Berusaha meredakan ketegangan emosional yang timbul se-bagai akibat konflik. Meminta agar semua pihak menahan diri. Dan bersedia mengalah demi memelihara ketenangan. Yang ingin disesuaikan adalah ketegangan emosionalnya, bukan konflik.
SENIMAN       :  Tidak peduli dengan ketegangan emosional yang berlang-sung, tetapi juga tidak berusaha agar pihak lain mengikuti ja-lan pikirannya, “Terserah orang lain maunya apa, pokok sa-ya mau begini”.
BIROKRAT     :  Tetap berusaha menggoalkan alternatif yang dianggapnya paling sesuai dengan ketentuan yang ada.
MANAJER       :  Berusaha untuk mencari inti perbedaan yang ada dan mena-warkan alternatif lain yang mungkin diterima oleh kedua belah pihak.

Dalam Mengambil Keputusan
KOMANDAN :  Mengambil keputusan yang di anggapnya baik tanpa peduli ada pihak yang tidak setuju dengan keputusannya. Berusaha menggunakan wewenang untuk memaksakan keputusannya/ pendiriannya
PELAYAN       :  Jarang mau secara tegas mengambil keputusan yang di ten-tang oleh pihak lain. Lebih suka bila keputusan bisa diambil melalui pungutan suara.
SENIMAN       :  Tidak terlalu peduli apakah keputusannya disetujui atau ti-dak oleh pihak lain.
BIROKRAT     :  Jika berwenang mengambil keputusan, maka ia cukup berani mengambil keputusan walaupun ada yang menentang. Pu-tusan yang diambil akan berdasarkan peraturan yang ber-laku.
MANAJER       :  Berusaha mengambil keputusan yang disepakati oleh semua pihak. Berusaha untuk menjelaskan akibat dari putusan yang akan diambil. Selalu mempertimbangkan berbagai alternatif sebelum kesimpulan. Mencek lebih jauh apakah pihak lain benar-benar puas dengan keputusan yang akan diambil.

Dalam Menyiapkan Lobby

KOMANDAN :  Tidak percaya pada manfaat yang dapat dihasilkan oleh su-atu hubungan yang bersifat informal, tetapi tetap berusaha untuk hadir dalam acara yang bersifat formal.
PELAYAN       :  Sering menunjukkan simpati pada mereka yang mendapat-kan kesusahan berusaha untuk membina hubungan pribadi yang informal, tetapi dalam kesempatan-kesempatan infor-mal jarang mengadakan pembicaraan yang bersifat peker-jaan.
SENIMAN       :  Tidak mau berusaha payah menyiapkan lobby
BIROKRAT     :  Tidak menganggap perlu untuk membina hubungan informal dalam bentuk lobby
MANAJER       :  Percaya pada manfaat dari hubungan informal dengan pihak lain, dan sering menggunakan kesempatan-kesempatan in-formal untuk juga membicarakan masalah yang berkaitan dengan kerja.

Catatan Kepustakaan

Konsep GAYA KERJA pertama kali dirumuskan oleh TIM SS-IRD. Sebuah tim yang bertugas mengembangkan program pelatihan untuk para awak konpit PT. Garuda Indonesia Airways. Konsep ini merupakan modifikasi dari teori Black and Mouton tentang Managerial grid. Catatan-catatan tentang rumusan gaya kerja ini umumnya merupakan material yang dipublikasikan, kecuali dua buku yang disebut di bawah ini:

TIM SS-UD            :  Cockpit Human Interaction Managernya (TEXT) PT. Iradat Jakarta 1983.

Matindas, R             :  Gaya Kerja, dalam Budhiman dan Gantika (eds) Cooperate Human Interaction Manajement (participant Text). PT. Iradat Jakarta. 1988.





GAYA KERJA DAN NEGOSIASI (3)

13 02 2010

Elemen-elemen Gaya Kerja

Telah disebut bahwa Gaya Kerja adalah kumpulan tingkah laku berpola yang tampil dalam suatu interaksi kerja. Kalau kita perhatikan interaksi kerja yang ber-langsung antara seseorang dengan orang lainnya, maka ada banyak aktivitas yang kita temukan di dalamnya. Ada kalanya kita melihat orang memberikan interaksi ada saat orang menegur kesalahan, atau mungkin juga melakukan aktivitas-akti-vitas lainnya. Berbagai aktivitas yang tampil dalam suatu interaksi kerja inilah yang disebut sebagai elemen gaya kerja.

Karena interaksi kerja yang berlangsung dalam suatu kelompok mungkin saja memiliki perbedaan dengan proses kerja di kelompok lainnya, maka dapat di-mengerti bahwa elemen kerja yang menonjol untuk suatu kelompok akan ber-beda dengan elemen kerja yang menonjol di kelompok lainnya.

Khusus untuk interaksi kerja yang berlangsung dalam suatu proses negosiasi, kita dapat menemukan beberapa elemen kerja yang menonjol. Elemen-elemen gaya kerja itu antara lain adalah:

Mempelajari gagasan yang diajukan pihak lain.

Dalam hal ini, secara sadar atau tidak, seseorang melakukan penafsiran terhadap sebuah usulan yang diajukan oleh pihak lain. Misalnya orang yang mendapat tawaran untuk mengadakan sebuah penelitian bisa me-nafsirkan bahwa yang dimaksud dengan penelitian disini terbatas pada sebuah survei kecil, atau menafsirkannya sebagai penelitian mendalam.

Dalam usaha untuk memahami maksud tawaran itu, seseorang bisa saja mengajukan pertanyaan untuk mendapat penjelasan lebih lanjut. Atau, bisa juga ia sama sekali tidak mengajukan pertanyaan karena mengira bahwa ia tidak mengerti maksud orang lain (dan pada kenyataannya bisa saja ia salah tafsir).

Menawarkan Gagasan, Kepada pihak kedua

Di sini, pihak pertama mengajukan usulannya kepada pihak kedua. Usulan ini bisa diajukan sebagai salah satu alternatif yang perlu diper-timbangkan oleh pihak lain, atau bisa juga sebagai tuntutan yang diha-rapkan dipenuhi pihal lain itu.

Menangani konflik yang terjadi

Dalam sebuah proses negosiasi, tidak jarang terjadi perbedaan kepen-tingan, perbedaan ini sering kali menimbulkan suasana konflik di antara peserta negosiasi. Proses penanganan konflik ialah yang disebut sebagai elemen “Menangani Konflik”.

Mengajukan komentar terhadap gagasan pihak kedua

Yang dimaksud dengan komentar adalah pernyataan-pernyataan yang bersifat evaluatif terhadap gagasan yang diajukan pihak lain. Pengajuan komentar tidak terbatas pada pernyataan setuju atau tidak setuju terha-dap konsisten tidaknya tawaran itu dengan tawaran yang lain, realistik tidaknya tawaran itu, dan lain-lain sebagainya.

Mengambil keputusan

Negosiasi, tidak selamanya berlangsung antara dua pihak yang setara. Ada kalanya negosiasi berlangsung antara atasan dan bawahan, atau an-tara dua pihak yang bisa dianalogikan sebagai atasan-bawahan. Dalam kondisi seperti ini maka hasil akhir suatu nogosiasi tidak selalu harus merupakan kesepakatan antara kedua pihak. Khususnya jika terjadi “dead-lock”, keputusan bisa saja diambil secara sepihak, lalu pihak lain ditekan untuk menerima keputusan itu.

Selain itu kelima aktivitas yang baru tampil di saat berlangsungnya negosiasi, ada pula aktivitas lain yang berlangsung di luar situasi negosiasi. Aktivitas ini antara lain adalah aktivitas dalam menyiapkan “lobby” dengan pihak lain.

Walaupun pada dasarnya tiap orang mempunyai cara sendiri dalam menjalan-kan tugasnya, tetapi berdasarkan persamaan-persamaan dalam cara mereka melakukan negosiasi, kita dapat menggolongkan cara-cara itu ke dalam salah satu dari kelima Gaya Kerja Utama, yang telah disebutkan bagian depan.

Berikut ini adalah uraian mengenai ciri dari masing-masing Gaya Kerja.

Gaya Kerja Manajer

Orang dengan Gaya Kerja Manajer berpegang teguh pada slogan : in a good negotiation, everybody wins. Karena itu mereka selalu berusaha untuk menca-pai yang terbaik bagi semua pihak. Mereka percaya bahwa bila semua pihak mendapat keuntungan, maka komitmen terhadap keputusan yang diambil akan lebih kuat. Oleh karena itu mereka sering mengingatkan pihak lain terhadap konsekuensi-konsekuensi yang timbul dari suatu keputusan.

Mereka umumnya menyadari bahwa penafsiran mereka terhadap suatu pena-waran belum tentu sesuai dengan maksud pihak yang mengajukan penawaran. Oleh karena itu dalam mempelajari tawaran pihak lain, mereka tidak segan mengajukan pertanyaan untuk memperoleh penjelasan yang lebih mendalam. Jika telah ada kesamaan pemahaman terhadap gagasan yang diajukan, mere-ka melanjutkan usaha mempelajari tawaran dengan menganalisa konsekuensi-konsekuensi yang mungkin timbul sebagai akibat. Kemudian bila mereka me-lihat adanya kemungkinan akibat negatif mereka akan mengajukan hal terse-but dalam perundingan. Sehubungan dengan hal ini, mereka pun tidak akan berdiam diri jika mengetahui bahwa suatu tawaran atau gagasan justru akan menimbulkan kerugian pada pihak lawan. Mereka tidak akan berusaha “mem-bodohi” atau mengakali counterpartnya, karena mereka beranggap bahwa bila satu waktu pihaknya terjebak dalam perangkap yang mereka buat maka akibat buruknya akan berpengaruh juga pada pihaknya.

Karena itu dalam menyelesaikan konflik, mereka selalu berusaha untuk mem-pelajari pangkal dari konflik dan mencoba memahami kepentingan utama dari masing-masing pihak. Baru jika jelas bahwa kedua pihak saling memiliki ke-pentingan yang saling bertentangan, mereka akan mencoba menggunakan pe-ngaruh atau kekuasaan untuk menekan pihak lain. Tetapi dalam menekan pi-hak lain, mereka pun berusaha agar pihak lain tidak dirugikan. Apa yang me-reka berikan pada pihak itu. Dan mereka pun akan berusaha untuk menje-laskan kebaikan dari tawarannya itu. Demi mencapai keberhasilan dari suatu negosiasi, orang dengan gaya manajer biasa memanfaatkan hubungan inter-personal yang baik dengan pihak lain. Mereka percaya bahwa dalam situasi informal, banyak masalah yang dibicarakan dengan kepala dingin. Jadi ber-beda dengan orang tipe pelayan yang menjalin hubungan informal semata-ma-ta untuk menjalin hubungan persahabatan, orang dengan gaya manajer justru memanfaatkan hubungan interpersonal untuk memperlancar tercapainya ke-berhasilan kerja.

Gaya Kerja Komandan

Seorang dengan gaya kerja komandan umumya mempunyai keyakinan bahwa ia tahu benar apa yang harus ia kerjakan, dan merasa bahwa jalan pikirannya benar. Dalam suatu situasi kerja sama, ia umumnya berusaha untuk mengam-bil peran sebagai “pengambil keputusan”. Ia tidak ingin dibantu – apalagi di-pengaruhi dalam menentukan apa yang seharusnya ia lakukan. Dalam situasi perundingan, dengan pihak yang dinilainya “inferior”, mereka umumnya tidak segan untuk menggunakan pengaruh guna mencapai keputusan yang sesuai dengan pendapatnya. Mereka tidak perlu untuk disenangi oleh orang lain. Yang lebih penting adalah mereka diikuti dan kalau mungkin dikagumi.

Dalam situasi perundingan dengan pihak yang dinilai “superior”, mereka bi-asanya tidak merasa perlu takut untuk menyapaikan pendapat mereka ber-tentangan dengan pendapat pihak lain. Mereka adalah perunding yang gigih untuk memperjuangkan pribadi dan kepentingan pihak dan kepentingan ke-lompok yang diwakilinya.

Dalam mempelajari gagasan pihak lain, mereka biasanya cenderung untuk cu-riga bahwa gagasan itu diajukan semata-mata untuk kepentingan pihak yang bersangkutan. Mereka sulit untuk percaya bahwa pihak lain juga berusaha un-tuk memperhatikan kepentingan pihaknya, kecuali jika dengan salah satu lain cara dipaksa untuk berbuat begitu.

Dalam mengajukan penawaran, umumnya menuntut agar tawarannya itu dite-rima. Ini antara lain karena mereka merasa bahwa mereka cukup punya dasar untuk mengajukan tawaran itu, dan menganggap bahwa tawaran yang mereka ajukan adalah tawaran yang baik. Jika kebetulan mereka berada dalam posisi yang berpengaruh, mereka tidak segan-segan untuk menggunakan kekuasa-annya dalam menekan pihak lain agar mengikuti kemauan mereka.

Dalam mengajukan komentar, mereka cenderung untuk tidak malu-malu atau ragu-ragu untuk menyatakan keberatan atau celaan mereka terhadap jalan pi-kiran orang lain.

Dalam situasi konflik, orang dengan gaya komandan umumnya berusaha un-tuk menekan konflik itu dengan pertarungan pengaruh. Dalam usaha meme-nangkan “pertarungan” mereka lebih suka menggunakan “ancaman” dari pada “bujukan”.

Dalam perundingan yang berlangsung antara pihak sendiri mereka umumnya berusaha mempengaruhi kelompok untuk menerima gagasan-gagasan mereka. Mereka tidak merasa terganggu oleh ketegangan emosional yang mungkin ter-jadi selama berlangsungnya negosiasi, dan tetap gigih memperjuangkan putus-an yang sesuai dengan pandangan mereka.

Gaya Kerja Pelayan

Orang dengan gaya kerja pelayan adalah orang dengan keinginan untuk me-nyenangkan orang lain. Mereka punya asumsi bahwa hubungan baik dengan orang lain akan selalu membawa keberuntungan. Karena itu mereka sangat berusaha untuk menjaga perasaan orang lain. Terutama dalam situasi perun-dingan yang berlangsung di dalam kelompok sendiri, mereka mudah menga-lah pada pendapat orang lain, dan walaupun sesungguhnya mereka benar, me-reka seringkali tidak  mau mempertahankan pendapatnya. Dalam bernegosiasi dengan pihak lain, mereka lebih sering “membujuk” dari pada mengancam.

Bahkan pada waktu berunding dengan pihak yang memiliki posisi inferior, mereka jarang mau menggunakan “kekuasaannya” untuk menekan pihak lain agar menerima tawaran yang mereka ajukan. Dan pada saat berunding dengan pihak yang lebih superior, mereka umumnya menahan diri untuk mengatakan hal-hal yang merupakan keberatan mereka. Pada saat mereka tidak setuju de-ngan tawaran ataupun keputusan pihak lain, mereka tetap berdiam diri. Tetapi mereka pun tidak secara eksplisit mengatakan setuju. Mereka berharap bahwa sikap mereka dengan sendirinya akan menyebabkan pihak lain akan menya-dari keberatan mereka dan akan mengubah penawaran.

Dalam menilai tawaran yang diajukan pihak lain, me-reka cukup berhati-hati, tapi walaupun sebetulnya mereka kurang setuju, mereka tidak segera menyata-kan. Jika masih ada orang lain yang ikut serta sebagai anggota kelompok yang menyampaikan keberatan. Mereka mungkin akan mengingatkan pada anggota delegasinya tentang “hal-hal yang bisa merugikan pihaknya”, tetapi sedapat mungkin mereka menahan diri untuk menjadi orang pertama dari pihaknya yang harus menyampaikan keberatan. Bila banyak orang telah mengajukan keberatan, barulah mereka berani menambahkan penjelasan untuk mendukung keberatan itu.

Dalam mengajukan tawaran, mereka biasanya mengusahakan agar tawaran itu tidak melukai perasaan orang lain, dan dalam mengomentari tawaran pihak la-in mereka pun berlaku hati-hati. Pada dasarnya mereka lebih berusaha me-mikirkan kepentingan masing-masing pribadi, dari pada memikirkan kepen-tingan kelompok yang mewakili pribadi-pribadi itu.

Mereka menghadapi konflik dengan cara meredakan efek emosional yang ada dan bukan berusaha untuk mencari “inti persoalan atau perbedaan pendapat”, sementara dalam mengambil keputusan itu didukung oleh orang lain. Mereka bersedia mengorbankan kualitas keputusan demi untuk memelihara hubungan baik.

Mereka biasanya cukup aktif membina hubungan interpersonal yang bersifat informal, tetapi jarang memanfaatkan hubungan informal itu untuk membi-carakan hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan.

Gaya Kerja Bohemian (Seniman)

Orang dengan gaya bohemian adalah orang yang tidak mau merepotkan dan juga tidak mau direpotkan oleh orang lain. Kalau bisa mereka sesungguhnya segan untuk bekerja sama.

Mereka lebih senang untuk bekerja sendiri dan bertanggung jawab secara pri-badi pada hasil pekerjaannya.

Gaya kerja bohemian/seniman ditandai dengan sikap yang tidak terlalu perduli pada hasil kerja sama atau hasil akhir dari suatu perundingan. Yang paling utama bagi orang dengan gaya seniman adalah kepentingan pribadinya, bukan kepentingan kelompoknya. Mereka juga tidak terlalu perduli pada perasaan orang lain dan tidak takut kalau mereka tidak disenangi orang lain. Istilah yang paling tepat untuk menggambarkan orang dengan gaya seniman adalah sikap masa bodoh terhadap dunia luar.

Dalam situasi kerja sama, orang bergaya seniman biasanya tidak mau terlalu terlibat dengan proses perundingan. Mereka Cuma ingin segera tahu apa yang diharapkan dari mereka sebagai pribadi atau individu dan bila apa yang diha-rapkan itu bisa mereka menganggap kepentingannya tergangu, mereka tidak segan untuk mengatakan “tidak”. Dan seandainya mereka pun terpaksa meng-iyakan keputusan itu. Mereka tidak merasa perlu committed dengan suatu keputusan.

Bila misalnya suatu keputusan mengharuskan ia hadir pada suatu hari minggu, padahal ia ingin istirahat, ia cenderung untuk menyampaikan keberatannya. Dan bila akhirnya keberatannya tidak diterima, ia tidak segan-segan untuk ti-dak datang pada hari minggu itu.

Dengan gaya seniman biasanya tidak terlalu mendetail dalam mempelajari tawaran yang diajukan pihak lain. Ia hanya mencoba menilai sejauh mana ta-waran itu mempunyai konsekuensi dengan kepentingan pribadinya. Ia juga ti-dak banyak mengomentari tawaran pihak lain dan biasanya menyilahkan pi-hak lain untuk membuat keputusan akhir. Yang penting, ia sebagai pribadi ti-dak dirugikan.

Sikap yang tidak mau repot menyebabkan biasanya juga tidak mau bersusah payah untuk menyiapkan “lobby” dengan pihak lain. Dan pada saat terjadinya konflik kepentingan antara dua orang/pihak lain, mereka berusaha berada di luar (tidak mau terlibat dan tidak juga memihak).

Gaya Kerja Birokrat

Orang dengan gaya kerja birokrat adalah orang yang sangat teliti memper-hatikan prosedur dan aturan yang berlaku. Mereka selalu berusaha untuk ber-tindak sesuai dengan aturan yang telah digariskan. Pada dasarnya mereka ada-lah orang tidak ingin dipersalahkan di kemudian hari, dan karena itu berusaha sekuat-kuatnya untuk memiliki “dasar hukum” bagi tiap tindakannya.

Dalam proses perundingan mereka biasanya mengingatkan pada aturan-aturan yang ada dan tetap akan menolak tawaran yang menguntungkan dirinya bila tawaran itu bertentangan ketentuan yang lebih tinggi.

Mereka bukanlah orang yang terlalu memikirkan kepentingan pribadi tetapi juga tidak berusaha untuk mengalah demi menyenangkan orang lain. Yang penting sesuatu berjalan sesuai dengan peraturan yang ada, dan kesepakatan yang telah tercapai.

Bila kebetulan mereka memiliki wewenang untuk menentukan keputusan ter-akhir, biasanya mereka tidak menyalahgunakan wewenang itu untuk mengam-bil keuntungan pribadi. Dan sebaliknya mereka berada pada posisi inferior, mereka pun tidak merasa segan untuk mengingatkan bila mereka ada pelang-garan prosedural.

Yang dianggap sebagai peraturan oleh orang-orang bergaya birokrat, sering-kali tidak terbatas pula peraturan-peraturan tertulis saja, tetapi meliputi ju-ga norma-norma yang berlaku, kesepakatan-kesepakatan yang pernah dicapai serta kaidah–kaidah ilmiah yang dipercayai berlaku umum (misalnya tahap berpikir yang harus dilalui untuk mengambil keputusan).

Bila terjadi konflik antara kepentingan pihaknya dengan kepentingan pihak la-in, mereka biasanya berusaha untuk melihat pihak mana yang lebih dimenang-kan oleh peraturan yang ada. Bila kesepakatan yang pernah dicapai atau per-aturan yang ada menunjukkan bahwa pihak lawan yang lebih berhak, mereka pun secara objektif bisa menerima.

Bila dianalisa secara mendalam, orang dengan gaya kerja birokrat sesungguh-nya merupakan “nilai tengah” di antara orang bergaya komandan dan orang bergaya pelayan. Jika orang bergaya komandan sangat memperhatikan kuali-tas hasil perundingan sesuai dengan kepentingan pribadinya dan golongan-nya, dan orang bergaya pelayan lebih mementingkan kualitas hubungan pri-badi, maka orang bergaya birokrat di satu pihak kelihatan memperjuangkan kualitas keputusan, tetapi di pihak lain sebetulnya tidak terlalu perduli pada hasil perundingan selama hasil tersebut tidak bertentangan dengan peraturan.





GAYA KERJA DAN NEGOSIASI (2)

13 02 2010

Gaya kerja adalah himpunan tingkah laku berpola yang ditampilkan di saat berinterakasi dengan orang lain. Dasar dari Gaya Kerja seseorang adalah Nilai dan asumsi yang dianutnya. Nilai dan asumsi ini bisa meliputi : perlu tidaknya ia lakukan hal-hal tertentu, buruk baiknya hal-hal tertentu, maupun benar salahnya pandangan-pandangan tertentu. Singkatnya, sistem nilai dan asumsi adalah kum-pulan dari hal-hal yang oleh yang bersangkutan diyakini sebagai suatu kebenaran.

Ini berarti bahwa:

1)     Gaya kerja bukanlah tingkah laku tertentu, melainkan sekumpulan ting-kah laku yang mempunyai pola. Merokok, melompat dan menangis adalah tingkah laku, dan tingkah laku ini bukan Gaya Kerja.

2)     Tingkah laku yang bukan merupakan bagian dari interaksi dengan orang lain tidak dapat digolongkan sebagai Gaya Kerja.Berdansa dengan mengikuti gaya dan irama tertentu, adalah tingkah laku yang mempunyai pola, tetapi tetap bukan merupakan Gaya Kerja
3)     Beberapa tingkah laku yang mungkin muncul dalam situasi kerja, tetapi bukan didasari oleh Sistem Nilai dan Asumsi, juga tidak termasuk sebagai Gaya Kerja.
4)     Gaya kerja bukanlah tingkah laku itu sendiri, melainkan sebuah abstraksi persamaan-persamaan yang muncul dalam berbagai tingkah laku konkrit. Gaya kerja X misalnya, ditandai oleh cara bertanya yang berbelit-belit, cara menjelaskan yang tidak to the point, cara mengambil kesimpulan yang mengabaikan detail informasi, dan lain-lain.

Macam-macam Gaya Kerja

Berdasarkan pola tingkah laku yang ditampilkan seseorang dalam interaksi kerjanya dengan orang lain, kita menggolongkannya ke dalam salah satu dari lima gaya kerja yaitu: Gaya Komandan, Gaya Pelayan, Gaya Seniman, Gaya Birokrat, atau Gaya Manajer. Kelima gaya kerja ini disebut Gaya Kerja Utama, karena disamping kelima gaya ini masih ada gaya-gaya lainnya. Akan tetapi kelima gaya kerja ini adalah gaya-gaya yang paling sering dijumpai.

Perlu diketahui bahwa seseorang mungkin saja menampilkan lebih dari satu macam gaya kerja. Seseorang yang biasanya menampilkan gaya komandan, mungkin saja kadang-kadang menampilkan pula gaya Birokrat. Ada juga ke-mungkinan bahwa sewaktu ia akan menampilkan gaya manajer atau bahkan gaya pelayan. Tetapi walaupun demikian, umumnya ada satu macam gaya yang lebih sering ditampilkan seseorang. Gaya yang sering ditampilkan ini disebut sebagai gaya primer, sementara yang nomor dua sering, disebut sebagai gaya sekunder.